Ditulis Oleh : Putri Puspita N
Di belahan negara-negara lain Lesbian-Gay-Bisexual-Transgender (LGBT) saat ini sedang memperjuangkan hak-hak nya untuk bisa diterima oleh lingkungan. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Melihat LGBT di Indonesia memang bukan hal yang asing lagi walaupun keberadaan mereka mendapat kecaman di lingkungannya karena dianggap telah menyalahi kodrat dan entah mengapa banyak warga yang membenci keberadaan mereka. Entah dasar apa, saat ini warga Indonesia lebih mudah untuk membenci daripada memahami. Lebih mudah untuk mencaci daripada berkaca pada diri sendiri. Lebih senang menebarkan kemarahan dan emosi daripada menciptakan kedamaian. Padahal negara ini adalah negara yang berbudi dan sudah menjadi budaya jika masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang berbudaya dan ber-etika.
Polemik LGBT menjadi persoalan yang serius di negeri ini bahkan Mentri Riset Teknologi dan Pendidikan (Menristek) menyebutkan dalam akun twitternya
10. Larangan sy terhadap LGBT masuk kampus apabila mreka mlakukan tindakan yg kurang terpuji seperti bercinta, atau pamer kemesraan dkampus.— Mohamad Nasir (@menristekdikti) January 24, 2016
Isi twitter ini memang agak sedikit geli, lalu apakah untuk non LGBT mereka boleh pamer kemesraan dan bercinta di kampus? hehe. Sudah jelas jika kampus adalah tempat proses mencari ilmu dan bersosialisasi dengan teman-teman dan saat ini bagi non LGBT pun tidak akan ada yang akan bercinta di kampus apalagi hingga ditonton oleh banyak orang. Bangsa ini ber-etika dan memiliki norma dan hal ini sudah tertanam di dalam jiwa bangsa karena budaya yang dimiliki sangatlah kuat. Untuk itu jangan samakan Indonesia dengan negara lain.
Menteri Nasir juga menyebutkan bahwa LGBT tidak diperbolehkan masuk kampus karena merusak moral. Bukankah sudah menjadi Hak Asasi Manusia bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak dan sama tanpa dibedakan SARA? Entah kenapa Indonesia saat ini menanamkan nilai-nilai “rasis” untuk warganya sendiri. Kebencian ditanam sejak dini sehingga yang timbul adalah bangsa ini tidak akan bisa berkembang karena tidak mampu menerima perbedaan-perbedaan yang ada di lingkungan.
Negara yang memiliki tiang-tiang pemahaman nilai etika dan budaya yang mengajarkan untuk bersikap sopan santun seharusnya bisa melahirkan anak-anak bangsa yang dewasa dan mampu berdiri sendiri tanpa terpengaruh budaya lain. Ironinya, saat ini Indonesia sadar atau tidak sedang dipengaruhi oleh negara lain supaya budaya negara tersebut bisa masuk dan meracuni pikiran anak bangsa. Jika bangsa ini dewasa dan mampu menerima perbedaan, saya pikir jika mereka non LGBT tidak akan mudah untuk menjadi LGBT hanya karena proses “ikut-ikutan biar keren” karena bangsa ini sudah memiliki tiang yang kuat.
Ironinya bangsa Indonesia saat ini lebih memperdulikan hal-hal yang bersifat fisik yang baik tetapi buruk dalamnya, daripada menerima ide baru yang berbeda dengan lingkungan tetapi baik untuk kedamaian dan kenyamanan toleransi bangsa ini.
Saya pikir para LGBT di Indonesia pun sama hal-nya seperti pasangan normal lainnya, mereka tentu tidak akan berciuman atau doing sex di depan banyak orang. Karena bangsa ini saya tegaskan kembali memiliki ETIKA! Malahan, yang pacaran normal tidak jarang pamer kemesraan depan umum bahkan membuat orang-orang disekitarnya merasa terganggu, lalu mengapa LGBT harus di diskriminasi?
Tentu saja hal ini bertentangan dengan nilai-nilai keyakinan agama mayoritas yang ada di negara ini. Agama yang dahulu berisi nilai-nilai kebaikan kini berubah menjadi sebuah dogma yang begitu kuat, mengikat dan anti toleransi. Padahal telah disebutkan “Bagimu agamamu, bagiku agamaku.
Romo benny dalam acara talkshow di salah satu stasiun televisi menyebutkan jika di jaman dahulu Indonesia memiliki 1000 macam keyakinan yang berbeda hal ini di implementasikan dengan 1000 arca yang terdapat di candi prambanan dan saat itu bangsa Indonesia mampu hidup berdampingan tanpa kebencian. Tetapi saat ini nilai-nilai “bhineka tunggal ika” sudah tidak mampu lagi diterima sehingga ketika perbedaan muncul peperangan yang terjadi.
Seorang intelektual mampu berpikir dan mencipta yang baru. Mereka harus bisa bebas di segala arus masyarakat yang kacau.” – Soe Hok Gie